Dengan peralatan kaleng bekas atau mangkuk kecil, mereka "bertugas" di perempatan jalan meminta uang sekadarnya dari orang-orang di dalam kendaraan. Para orangtua dan anak tersebut tinggal dalam bangunan rumah permanen dua lantai yang tertata cukup rapi.
Sulit diduga jika daerah tersebut adalah sebuah perkampungan yang dihuni pengemis dan pengamen yang "beraksi" di jalan-jalan di Kota Kembang. Setiap rumah umumnya dihuni oleh beberapa keluarga. Kalaupun diisi oleh satu keluarga, jumlah penghuni biasanya paling sedikit berjumlah tujuh orang, orangtua dengan lima orang anak. Semuanya memiliki profesi yang sama. Kalau bukan pengamen, ya, pengemis.
***
KALAU Ita (seorang pengemis) memang disuruh ibunya. Kalau enggak mau, dimarahin," ujar Sri (10) menceritakan temannya, Ita, yang duduk di sampingnya. Mendengar cerita temannya itu, Ita (10) tertunduk malu, sambil menyangkalnya, "Enggak, kok. Enggak dimarahin." Di sebuah rumah belajar, di lokasi yang sama, Ita, Sri, dan anak-anak lainnya hampir setiap hari belajar bersama para pembimbing. Kegiatan yang mereka lakukan adalah menggambar, berhitung, belajar membaca, dan lain-lain.
Kegiatan itu biasa dimanfaatkan oleh para pengelola rumah belajar tersebut untuk "mengorek" kehidupan sehari-hari anak-anak tersebut. "Anak-anak itu memang turun ke jalan setiap harinya. Pagi atau siang hari mereka sekolah, sorenya sampai malam turun ke jalan," ujar Arni, yang juga salah seorang pembimbing di rumah belajar tersebut. Apa yang diceritakan Arni menimpa sebagian besar anak-anak di daerah tersebut. Ita, misalnya, pagi hari dia mengerjakan pekerjaan rumah (PR) atau mengasuh adiknya.
Setelah bersekolah pukul 12.00 hingga pukul 17.00, Ita meneruskan kegiatannya, bekerja mencari uang di jalan. Bersama beberapa temannya, Ita mengamen di perempatan Jalan Pasteur-Jalan Pasirkaliki. Kegiatan ini dilakukan hingga sekitar pukul 22.00. Bahkan, pada malam Minggu, keberadaan Ita di jalan lebih lama karena jumlah orang yang menghabiskan waktunya untuk jalan-jalan lebih banyak dibandingkan dengan hari-hari biasa. Dari pekerjaannya tersebut, setiap hari Ita memperoleh uang Rp 5.000 hingga Rp 10.000. "Semuanya dikasihin Mama, untuk biaya sekolah," jawab Ita, ketika ditanya mengenai uang hasil jerih payahnya tersebut.
Seperti halnya yang dikatakan Ita, Sri juga mengaku, uang hasil mengamen "disetorkan" kepada ibunya. "Sama Mama dikumpulin terus buat bayar uang sekolah," ujar Sri. Mencari uang untuk biaya sekolah, bahkan untuk biaya hidup sehari-hari, sudah menjadi hal yang lumrah bagi anak-anak seperti Sri, Ita, Deki, Ahmad, dan sekitar 6.000 anak jalanan lainnya di Bandung. Bahkan, banyak di antara mereka yang terbiasa hidup di jalan sejak dilahirkan. Orangtua, terutama ibunya, "mengenalkan" mereka pada kehidupan jalanan dengan mengajak mengemis di perempatan-perempatan jalan. Setelah usia mereka beranjak besar, paling tidak ketika menginjak tiga tahun, mereka dibiarkan untuk mencari uang sendiri dengan duduk di pinggir-pinggir jalan sambil menunggu orang yang memberi recehan.
anak-anak yang hidup dijalan , sebenarnya mempunyai motivasi tinggi untuk mendapat pendidikan yang layak untuk mereka . bahkan mereka mencari uang dengan mengemis dijalanan tujuannya adalah untuk biaya sekolah .
saya pribadi sangatlah miris melihat anak seumuran meraka ( 3 - 10 thn ) harus berada dijalan hampir setiap harinya untuk mengemis. alahkah baiknya apabila PEMKOT badung dapat menyelesaikan hal ini . dengan mengadakan penertiban agar mereka tidak mengemis , namun PEMKOt pun harus memikirkan nasib mereka setelah penertiban tersebut . mungkin dengan membuat sekolah gratis khusus untuk anak-anak yang sama sekali tidak mampu membayar biaya sekolah . karena saya yakin mereka adalah penerus bangsa yang layak mendapatkan pendidikan sam halnya anak-anak lainnya.
saya sangat berharap pemerintah kota bandung dapat menyadari keadaan anak jalanan tersebut dengan membuka kesempatan bagi mereka untuk bersekolah tanpa memikirkan biaya . karena seperti yang kita lihat sekarang walaupun banyak wakil rakyat membuat program sekolah gratis , tetep saja banyak anak-anak yang tak bisa bersekolah .
MASALAH :
Kesadaran orang tua yang membiarkan anak dibawah umur seperti mereka membuat pola piker anak-anak dibawah umur menjadi pengemis . seharusnya ada penertiban agar mereka tidak lagi mengemis-ngemis serta menjual suara mereka demi mendapatkan uang receh yang tujuannya adalah untuk biaya hidup dan sekolah.
ALTERNATIF PENYELESAIAN :
Ø Penertiban oleh pemerintah kota agar tidak lagi anak-anak yang berkeliaran untuk mengemis dijalanan dilakukan secara konsisten
Ø Membuka pusat pendidikan social bagi anak-anak yang tidak mampu
Ø Kesadaran langsung dari orangtua dengan mengajarkan anak-anak merka untuk tidak mengemis demi mendaptkan uang .
Ø harus ada komitmen dari Pemerintah Pusat bahwa penyelesaian masalah pengemis, pedagang asongan dan anak jalanan merupakan bagian dari pengentasan kemiskinan secara nasional
Ø harus ada kerja sama dan koordinasi yang baik antara Pemerintah Daerah, artinya setiap pengemis ataupun pedagang asongan yang terkena razia akan dikembalikan ke daerah asalnya untuk dibina oleh Pemda masing-masing
Ø harus ada kerja sama dan sinergi lembaga-lembaga sosial baik milik pemerintah maupun swasta terutama dalam program pemberdayaan
Ø kepada para muzaki dan donatur supaya menyalurkan zakat, infaq, sedekah dan wakafnya kepada Lembaga ataupun Badan Amil Zakat atau kepada Lembaga Sosial lainnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar