Senin, 23 November 2009

sisi lain kota bandung dalam potret anak jalanan


SEKITAR pukul 08.00, di sebuah gang selebar kira-kira satu meter di Sukajadi, Bandung, Jawa Barat (Jabar), sekumpulan anak usia sekolah dasar bermain tali dengan riangnya. Sementara itu, di halaman sebuah warung, beberapa ibu ngerumpi. saya menyapa beberapa anak, "Tadi malam pulang jam berapa?" Seorang anak perempuan menjawabnya santai, "Enggak terlalu malam, kok, cuma sampai jam 11." kemudian saya tau kalau sebagian besar di antara anak-anak tersebut telah terbiasa pulang ke rumah pada malam hari. Setiap sore hingga malam mereka bekerja menjual suara dan menadahkan tangan untuk memperoleh recehan dari orang-orang di sekitar pusat-pusat keramaian kota dan perempatan jalan. Orangtua mereka melakukan hal yang sama.

Dengan
peralatan kaleng bekas atau mangkuk kecil, mereka "bertugas" di perempatan jalan meminta uang sekadarnya dari orang-orang di dalam kendaraan. Para orangtua dan anak tersebut tinggal dalam bangunan rumah permanen dua lantai yang tertata cukup rapi.

Sulit diduga jika daerah tersebut adalah
sebuah perkampungan yang dihuni pengemis dan pengamen yang "beraksi" di jalan-jalan di Kota Kembang. Setiap rumah umumnya dihuni oleh beberapa keluarga. Kalaupun diisi oleh satu keluarga, jumlah penghuni biasanya paling sedikit berjumlah tujuh orang, orangtua dengan lima orang anak. Semuanya memiliki profesi yang sama. Kalau bukan pengamen, ya, pengemis.

***

KALAU Ita (seorang pengemis) memang disuruh ibunya. Kalau enggak mau, dimarahin," ujar Sri (10) menceritakan temannya, Ita, yang duduk di sampingnya. Mendengar cerita temannya itu, Ita (10) tertunduk malu, sambil menyangkalnya, "Enggak, kok. Enggak dimarahin." Di sebuah rumah belajar, di lokasi yang sama, Ita, Sri, dan anak-anak lainnya hampir setiap hari belajar bersama para pembimbing. Kegiatan yang mereka lakukan adalah menggambar, berhitung, belajar membaca, dan lain-lain.

Kegiatan itu biasa dimanfaatkan oleh para pengelola rumah belajar tersebut
untuk "mengorek" kehidupan sehari-hari anak-anak tersebut. "Anak-anak itu memang turun ke jalan setiap harinya. Pagi atau siang hari mereka sekolah, sorenya sampai malam turun ke jalan," ujar Arni, yang juga salah seorang pembimbing di rumah belajar tersebut. Apa yang diceritakan Arni menimpa sebagian besar anak-anak di daerah tersebut. Ita, misalnya, pagi hari dia mengerjakan pekerjaan rumah (PR) atau mengasuh adiknya.

Setelah bersekolah pukul 12.00 hingga pukul 17.00,
Ita meneruskan kegiatannya, bekerja mencari uang di jalan. Bersama beberapa temannya, Ita mengamen di perempatan Jalan Pasteur-Jalan Pasirkaliki. Kegiatan ini dilakukan hingga sekitar pukul 22.00. Bahkan, pada malam Minggu, keberadaan Ita di jalan lebih lama karena jumlah orang yang menghabiskan waktunya untuk jalan-jalan lebih banyak dibandingkan dengan hari-hari biasa. Dari pekerjaannya tersebut, setiap hari Ita memperoleh uang Rp 5.000 hingga Rp 10.000. "Semuanya dikasihin Mama, untuk biaya sekolah," jawab Ita, ketika ditanya mengenai uang hasil jerih payahnya tersebut.

Seperti halnya yang dikatakan Ita, Sri juga mengaku, uang hasil mengamen "disetorkan" kepada ibunya. "Sama Mama dikumpulin terus buat bayar uang sekolah," ujar Sri. Mencari uang untuk biaya sekolah, bahkan untuk biaya hidup sehari-hari, sudah menjadi hal yang lumrah bagi anak-anak seperti Sri, Ita, Deki, Ahmad, dan sekitar 6.000 anak jalanan lainnya di Bandung. Bahkan, banyak di antara mereka yang terbiasa hidup di jalan sejak dilahirkan. Orangtua, terutama ibunya, "mengenalkan" mereka pada kehidupan jalanan dengan mengajak mengemis di perempatan-perempatan jalan. Setelah usia mereka beranjak besar, paling tidak ketika menginjak tiga tahun, mereka dibiarkan untuk mencari uang sendiri dengan duduk di pinggir-pinggir jalan sambil menunggu orang yang memberi recehan.

anak-anak yang hidup dijalan , sebenarnya mempunyai motivasi tinggi untuk mendapat pendidikan yang layak untuk mereka . bahkan mereka mencari uang dengan mengemis dijalanan tujuannya adalah untuk biaya sekolah .

saya pribadi sangatlah miris melihat anak seumuran meraka ( 3 - 10 thn ) harus berada dijalan hampir setiap harinya untuk mengemis. alahkah baiknya apabila PEMKOT badung dapat menyelesaikan hal ini . dengan mengadakan penertiban agar mereka tidak mengemis , namun PEMKOt pun harus memikirkan nasib mereka setelah penertiban tersebut . mungkin dengan membuat sekolah gratis khusus untuk anak-anak yang sama sekali tidak mampu membayar biaya sekolah . karena saya yakin mereka adalah penerus bangsa yang layak mendapatkan pendidikan sam halnya anak-anak lainnya.

saya sangat berharap pemerintah kota bandung dapat menyadari keadaan anak jalanan tersebut dengan membuka kesempatan bagi mereka untuk bersekolah tanpa memikirkan biaya . karena seperti yang kita lihat sekarang walaupun banyak wakil rakyat membuat program sekolah gratis , tetep saja banyak anak-anak yang tak bisa bersekolah .


MASALAH :

Kesadaran orang tua yang membiarkan anak dibawah umur seperti mereka membuat pola piker anak-anak dibawah umur menjadi pengemis . seharusnya ada penertiban agar mereka tidak lagi mengemis-ngemis serta menjual suara mereka demi mendapatkan uang receh yang tujuannya adalah untuk biaya hidup dan sekolah.

ALTERNATIF PENYELESAIAN :

Ø Penertiban oleh pemerintah kota agar tidak lagi anak-anak yang berkeliaran untuk mengemis dijalanan dilakukan secara konsisten

Ø Membuka pusat pendidikan social bagi anak-anak yang tidak mampu

Ø Kesadaran langsung dari orangtua dengan mengajarkan anak-anak merka untuk tidak mengemis demi mendaptkan uang .

Ø harus ada komitmen dari Pemerintah Pusat bahwa penyelesaian masalah pengemis, pedagang asongan dan anak jalanan merupakan bagian dari pengentasan kemiskinan secara nasional

Ø harus ada kerja sama dan koordinasi yang baik antara Pemerintah Daerah, artinya setiap pengemis ataupun pedagang asongan yang terkena razia akan dikembalikan ke daerah asalnya untuk dibina oleh Pemda masing-masing

Ø harus ada kerja sama dan sinergi lembaga-lembaga sosial baik milik pemerintah maupun swasta terutama dalam program pemberdayaan

Ø kepada para muzaki dan donatur supaya menyalurkan zakat, infaq, sedekah dan wakafnya kepada Lembaga ataupun Badan Amil Zakat atau kepada Lembaga Sosial lainnya



Bandung, surga para pencari kesenangan. Ibukota Jawa Barat ini tak hanya menawarkan FO, Ciwalk, Cihampelas, Cimol, Café Strawberry atau tempat wisata Gunung Tangkuban Perahu saja. Banyak yang bisa wisatawan temui di sini.

Kota berjulukan “Paris van Java” ini, adalah sebuah kota berhawa sejuk. Bila menginjakan kaki ke kota ini, seolah berat meninggalkannya. Semua ada di sini. Semua serba murah. Bahkan, pecinta fesyen menganggapnya sebagai kiblat mode terkini di Indonesia.

Bagi pecinta hiburan malam, Bandung pun adalah surga. Mulai dari klub dangdut hingga diskotek bertaraf internasional tersedia di sini. Jangan tanya wanita-wanita yang bisa menemani Anda, semuanya seperti kebanyakan mojang Bandung, cantik-cantik. Namun, Anda jangan nekad mencari hiburan ke Saritem, Anda bisa kena razia polisi karena kawasan bekas prostitusi ini sekarang sudah ilegal. Sudah ditutup. Yang masih nekad buka, beroperasi secara sembunyi-sembunyi dan tidak banyak karena takut ketahuan polisi.

Kawasan hiburan malam di Bandung, memang tersebar di beberapa tempat. Yang paling populer antara lain di kawasan Jl. Cibadak, Jl. Sudirman, dan Jl. Dalem Kaum. Sementara yang menjadi favorit wisatawan dari luar negeri adalah di Jl. Braga.

Penjaja seks di Bandung, sekarang ini memang banyak yang turun ke jalan. Ini tak lepas akibat dari ditutupnya Saritem. Mereka biasanya mangkal di seputar diskotek, terutama kalau ada acara “Ladies Night”. Coba pula selusuri Jl. Alkateri atau Jl. Asia-Afrika, maka Anda bisa menemui para wanita yang biasa disebut “Jablay” ini.

Namun, Anda pun harus berhati-hati bila ingin menggunakan “jasa” mereka. Sebab, mereka rawan penyakit kelamin. Anda tentunya tidak mau, pulang dari Bandung terpaksa harus mengeluarkan biaya mahal untuk berobat ke dokter spesialis kulit dan kelamin.